Islam, Jalan terbaik untuk kami
Siapa sangka kalau pada akhirnya jalan Islam juga yang menjadi pilihan hidup saya, sekian lama batin saya terasa kering dan rindu akan sentuhan rohani, seperti yang saya dapat dari agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW. ini. Saya merindukan Islam, agama yang insya Allah akan memberikan kebahagiaan dunia akhirat kepada saya dan keluarga. Sava lahir di Cirebon, 18 Mei 1950 dengan nama Oey Kiam Tjeng. Meski terlahir sebagai WNI keturunan Cina, saya bersyukur karena masih diterima di lingkungan tempat tinggal saya, yang tentu saja didominasi kaum pribumi.
Mereka, orang-orang Cirebon, sebagian besar, bahkan hampir seluruhnya, adalah pemeluk agama Islam yang taat. Saya yang ketika itu masih kanak-kanak, sedikit-banyaknya jadi tahu apa itu Islam, lewat apa yang dikerjakan oleh teman-teman sepermainan, juga orang-orang Islam dewasa yang berada di sekeliling saya. Masa kanak-kanak adalah bagian terindah dalam hidup saya, karena pada masa itu saya tidak pemah merasakan ada perbedaan di antara manusia. Saya tidak peduli kalau kulit saya kuning bersih dan bemata sipit, sementara teman-teman saya yang lain berkulit sawo matang atau kehitam-hitaman, dengan mata dan bibir yang besar dan juga termasuk soal agama yang kami anut.
Saya yang saat itu beragama Budha, sesuai agama keluarga kami, seringkali pula duduk di pengajian, karena teman-teman saya hampir semuanya ada di sana saat selesai shalat magrib, sampai menjelang isya. Saya merasa, apa yang saya lakukan saat itu adalah hal yang wajar-wajar saja, sesuai dengan yang biasa dilakukan oleh teman-teman saya yang lain. Apa yang saya anggap biasa-biasa itu, temyata tidak demikian di mata orang tua saya. Mama sempat menegur saya ketika saya dengan polos menirukan gerakan orang shalat, seperti yang pemah saya lihat saat bermain di rumah teman yang beragama Islam. Mama bilang saya tidak boleh sembarangan melakukan gerakan itu.
"Itu gerakan ibadah yang dianggap suci dalam agama Islam. Jangan sembarangan" Teguran mama saya patuhi. Saya tidak lagi sembarangan meniru gerakan orang shalat, karena saya mulai tahu kalau itu adalah semacam pelaksanaan ibadah yang suci dalam agama Islam, yang harus dihormati.
Dianggap Orang Luar
Pada akhirnya, apa yang selama ini saya khatiwatirkan terjadi juga, yang membuyarkan impian masa kecil saya tentang indahnya arti hidup tanpa ada perbedaan lahir maupun batin. Saat sekolah di SMU, saya mulai dianggap sebagai "orang luar", karena saya memang sedikit berbeda dengan mereka, orang-orang Indonesia ashi. Namun, saya tetap berkeyakinan kalau semua itu cuma berlaku sebagai ejekan teman-teman belaka. Tekad yang ada dalam hati saya saat itu cuma satu, meski cuma WNI keturunan Cina, tapi saya juga punya semangat dan rasa cinta tanah air Indonesia, seperti pribumi lainnya.
Pada masa-masa itu pula, status keagamaan nyaris tak pernah mendapat perhatian saya. Saya memang beragama Budha, cuma sebagai syarat agar tidak dicap sebagai orang yang tak beragama. Hal itu berlangsung terus, sampai saya lulus SMU, kuliah di Akademi Pelayaran, dan bekerja beberapa tahun lamanya.
Tahun 1979, saya bertemu seorang gadis cantik yang juga ketutunan Cina, beragama Kristen. Namanya Thio Loan Kiok. la tipe gadis idaman saya. la cantik, pintar, dan berasal dari keluarga baik-baik. Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1981, kami resmi menikah sesuai agama calon istri saya, Kristen Katolik. Meski demikian, saya menolak untuk dibaptis dan diberi nama baru. Saya bilang, "Saya mau menikah dengan calon istri Katolik, tapi tidak untuk dibaptis." Waktu itu kami menikah di Cirebon, dan selanjutnya menetap di sana.
Setelah menikah dan punya anak, seharusnya saya merasa puas. Apalagi usaha yang saya jalani di Cirebon cukup berhasil dan membuat kehidupan kami cukup, bahkan berlebih. Tapi, tidak demikian kenyataannya. Kadangkala saya merasa ada sesuatu yang kurang dalam diri saya, yakni status keagamaan saya. Entah mengapa, perasaan itu datang dalam hati dan mengganjal pikiran saya. Tapi saya berusaha untuk tidak terlalu larut dalam keadaan itu dengan jalan menyibukkan diri pada pekerjaan.
Menerima Islam
Tahun 1985, saat saya memutuskan untuk pindah ke Plered, Jawa Barat. Bisa dikatakan ini sebagai awal pertemuan saya kembali ke Islam dan itu terjadi lewat kejadian tidak disengaja dan unik. Ceritanya bermula saat istri saya yang mengurusi KTP mendapatkan status keagamaannya (tak disengaja) tertulis Islam, padahal ia beragama Kristen Katolik. Tapi istri saya anehnya tidak merasa keberatan dengan kesalahan itu. la yang memang sudah tidak terlalu aktif dengan kegiatan di gereja, yang terletak di kota Cirebon, bahkan terlihat senang-senang saja dengan ketidak sengajaan petugas kecamatan itu.
Saya pun jadi iri, hingga saya katakan pada pengurus kecamatan untuk mencantumkan agama Islam dalam KTP saya. Permintaan saya itu disambut antusias oleh pegawai kecamatan itu, hingga akhirnya jadilah kami berstatus agama Islam, meski hanva dalam KTP.
Selanjunya, istri saya jadi semakin tertarik pada agama Islam. Begitu pun saya. Dari peristiwa KTP itu, saya merasa seolah-olah itu adalah jalan kami berdua untuk menjadi seorang muslim. Jalan menuju Islam antara saya dan istri saya memang sedikit beda. Kalau istri saya barangkali lebih menggunakan perasaan, terutama seperti yang is ceritakan betapa is merasa ingin sekah mengenakan mukena yang biasa dipakai wanita muslimah saat shalat, maka saya 'lebih menggunakan rasio atau akal'.
Saya coba mencari tahu apa itu Islam lewat buku-buku secara diam-diam. Alhamdulillah, setelah beberapa tahun lamanya mencari-cari, pada 10 November 1991, saya dan isteri resmi menjadi pasangan muslim, lewat bimbingan Drs. H. Salim Badjri. Proses pengislaman yang berlangsung di Cirebon itu adalah awal kebahagian yang sava dapati saat ini. Setelah masuk Islam nama saya berganti menjadi H.M. Andaka Widjaya.
Meski pada tahun-tahun pertama keluarga dari pihak istri saya, yang kini bernama Hj. Siti Aisyah Kristanti, kurang bisa menerima hal itu, tapi kami berdua menganggap itu sebagai bagian dari perjalanan keislaman kami.
Kini, saya dan istri serta anak-anak, hidup bahagia di Plered, membuka usaha yang bisa dibilang berhasil. Saya bahkan segera bergabung dengan Yayasan Karim Oey, sebuah lembaga yang anggotanya adalah orang-orang peranakan Cina yang masuk Islam. Kantor pusatnya di Jakarta.
Dan, saya dipercaya untuk menjabat sebagai kepala perwakilan Cirebon. Dan, yang paling membuat sava bahagia adalah bahwa saya dan istri sudah menunaikan ibadah haji yang kami laksanakan pada tahun 1995. Sungguh nikmat Allah SWT tiada terkira kepada kami sekeluarga. Dalam hati saya berkata, inilah jalan hidup terbaik untuk sava. Insya Allah saya tidak akan pernah lagi lepas dari jalan Islam ini.
Oleh Dian dan Yusuf/Albaz dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/ oleh Mualaf Online Center (MCOL) http://www.mualaf.com
0 komentar:
Posting Komentar